Saturday, May 16, 2009

Gina's short story review


Jakarta, Halte Ratu Plaza-Trans BSD (Ratu Plaza-BSD), 11 May 2009

yes!
hujan lagi.
setelah sekian lama Jakarta terlalu panas, akhirnya hujan juga. Dan bukan sekedar rintik, tapi deras.
Dengan cepat aku masuk rumah, mengambil payung dan berlari keluar, ikut berkumpul bersama teman- temanku, bersiap menuju halte serta mall- mall terdekat.
Ini nih enaknya tinggal di Jakarta, orang- orangnya kreatif. Ngga perlu punya sepeda motor atau sepeda ontel, punya payung pun bisa dijadikan ojek. Yaaa, tentu saja bukan aku atau payungku yang dinaiki, bisa patah payung kesayanganku ini, lagipula badan sekecilku kuat angkat siapa?
Kembali ke hari yang hujan. Di luar rumah sudah ada agil, bocel, imron, muti, dan ona. Berteriak- teriak memanggil namaku.
"Ridho! Ridho!" teriak mereka nyaris berbarengan seperti paduan suara sambil menenteng sendal jepit di tangan kanan dan mengepit payung di tangan kiri. Meloncat- loncat seperti cacing kena debu. Entah kesenengan atau mencoba menghilangkan dingin. Kalau aku sih sudah jelas. Tiap hujan aku kesenengan kalau kena air hujan.
Sambil ikut berlompatan, aku menghambur ke arah mereka dan berlari- lari sambil tertawa, melangkahkan kaki kurus dan langkah kecil kami ke salah satu plaza dekat rumahku. Ratu Plaza namanya. Mungkin dalam nya megah sekali, jadi diberi nama Ratu Plaza, tapi ya aku tak tau juga sih, orang aku ngga pernah nge-mol alias ngga pernah masuk mall.
Di depan ratu plaza, ada halte busway, tinggal tunggu di ujung tangga penyebrangan, buka payung, nyengir ramah, minimal tujuh ribu rupiah masuk kantong. lumayan lah buat beli ciki.
Seperti hari- hari biasanya, kami menentukan siapa bos nya, hari ini giliran Agil. Sebenernya itu sih buat seru- seru an kita aja, ngerasa in jadi bos sehari, kapan lagi?
Hari ini aku kebagian di pinggir halte bersama muti dan agil. disini paling enak, paling teduh, dan paling banyak pelanggan. ternyata di sana sudah banyak ojek payung lainnya, ada yang kukenal, ada juga yang tidak kukenal, maklum, kerjaan ojek payung mulai jadi kerjaan yang digemari anak- anak pinggiran seperti kami.
Ahh... disana ada Bang Japri.
"udah dapet berapa bang hari ini?" tanya ku pada bang Japri.
"gue juga baru turun 'Dho!" ujarnya, lalu melanjutkan "Bapak lo mana 'Dho? Kaga ngojek?"
aku menggeleng.
Bapak tidak seperti diriku yang suka jadi ojek payung supaya punya alasan buat main hujan, sakit dan esoknya bolos sekolah. Bapak tidak suka berdiri dalam hujan, mayungin orang lain sedangkan diri sendiri kehujanan.
"Dingin!" kata Bapak di sela- sela gemeletuk gigi dan batuk. Ah, tapi bukan Bapak namanya kalau tak riang. Karena dingin dan gemetar, Bapak lalu menggerak- gerakkan tubuhnya seolah berjoget, pamer senyum kemana- mana, bahkan sempat- sempatnya melontarkan lelucon kepada ku, Agil, bang Japri maupun yang lainnya.
"Bapak ni suka sekali ya joget- joget ajak orang ketawa..." pernah sekali aku bertanya
"Badan boleh kedinginan 'Dho. Tapi hati musti hangat. Ketawa sama teman kan bikin suasana hati nyaman, sakit juga ngga mau deket- deket..." jawab Bapak.
Aku yang ngga pernah baca buku bagus aja tau kalau kata- kata Bapak itu adalah kalimat paling bijak dari buku manapun.
Pelanggan pertamaku muncul. Seorang bapak- bapak tua dengan kacamata berpakaian kemeja lengan panjang rapih. begitu necis, pasti takut baju nya kena rintik hujan.
Dengan sopan aku menyodorkan payung sambil tersenyum ramah. Diraihnya payungku, lalu berjalan.
aku?
yaaaaaaa ngintil di belakang si bapak sambil merasakan hujan yang pelan- pelan bikin diri tambah basah.
Dari semua jenis orang, aku paling suka ibu- ibu berjilbab atau lelaki muda berpakaian tak begitu rapih karena biasanya aku dibolehkannya ikut berpayung.
lalu dengan senyum teduh si ibu menyerahkan dua lembar uang seribuan sambil berkata 'ditabung ya nak..."
atau untuk kasus si kakak lelaki, biasanya mereka berkata "jangan dipake macem- macem lo tong!" dengan wajah serius tapi ramah.
Kembali ke si bapak yang kini mengeluarkan tiga lembar seribuan lusuh dan menyerahkannya kepadaku.
Di ujung halte, aku kembali tersenyum, buka payung dan mengajak Agil mengobrol, "Untung yah Gil orang- orang Jakarta ini masih banyak yang ngga dengerin ibu guru nya...."
"He? maksudnya?" tanya Agil bingung.
"iyaa... coba kalo semua orang dengerin ibu guru waktu ngomong 'sedia payung sebelum hujan', pasti ngga ada ojek payung kan Gil?"
nampaknya ucapanku begitu lucu di telinga Agil, Muti dan Bang Japri yang sekarang malah tertawa terbahak sampai- sampai bang Japri keselek asep rokoknya sendiri.
Aku jadi ikutan ketawa liat Bang Japri batuk- batuk, sampai lupa ngojek.
"Sampe dalem berapa dek?" Seorang ibu bertanya menyadarkanku.
"Tiga ribu bu..." jawabku.




-cerpen asal-asalan hasil nunggu trans bsd ditengah hujan-



What I thought about that short story:
Atas nama objektifitas secara jujur gue mesti bilang kalo gue kurang suka sama cerita yang coba dituangkan di dalam cerpen tersebut. It's too "Cerpen Idealis karya putera-puteri harapan Bangsa" menurut gue. I mean let’s face it, jarang banget kan kita liat ojek payung yang nggak berebutan baru aja turun busway apalagi bisa becanda danketawa-ketawa… behh hidup mereka hostile bung!
It’s true secara word-ing dan gaya bercerita cerpen ini emang enak buat dibaca, lugas dan sederhana. Tapi sayangnya secuil penggalan hidup ridho sang ojek payung diceritakan terlalu sederhana dan polos sehingga gue kesulitan buat nangkep makna yang mau di deliver sama penulisnya kepada pembacanya. Cerita soal seorang anak yang begitu polos kayak si ridho ini udah kita lihat gazziliion time waktu kita nonton sinetron dimana anak kecil yang baik itu baikkk dan polosss banget. Gak ada tuh beli ciki(btw emang ciki masih ada yah?) yang ada juga mereka beli aica aibon buat mabok ngelem.(gue tau ini ekstreem but, you got my point right?), contoh lainnya adalah ketika si ridho bercerita mengenai anak muda agak lusuh sama ibu-ibu yang berjilbab…yeah right mereka akan tersenyum teduh dan berkata “ditabung yah nak” dan “jangan dipake macem-macem” kalau settingnya bukan di Jakarta tapi di desa suka miskin di pedalaman mana gitu yang semua orang masih kental dan gotong royong masih kentel. Di Jakarta? No way baby…. They don’t give a shit with for what that money ridho use for!! So in terms of topics yah terlalu mengawang-awang dan sangat idealis sekali.

For my final words, menurut gue seorang Reigina Tjahaya itu BISA NULIS dan sangat menjanjikan. Wordplay nya bagus dan gaya ceritanya khas, but kayaknya dia harus lebih mengamati keadaan sekitar dan ber observasi terutama jika dia ingin tetap menulis di genre cerpen yang bercerita mengenai cukilan hidup seseorang seperti ini. But yeah I agree with that bunch of your groupies sis, keep on write…;)